Rabu, 10 Desember 2014

I Wayan Somawiyasa Spd

Keinginan untuk menulis autobiografi atau  riwayat hidup diri telah sejak lama ingin saya wujudkan. Namun baru saat ini dalam hitungan tahun ke 64 sejak kelahiran saya di tahun 1948, barulah keinginan tersebut dapat terwujud. Perlu juga diutarakan di sini bahwa penggunaan kata “saya” dalam tulisan ini, semata-mata untuk mengingatkan bahwa saya terlahir tak lebih dari seorang “sahaya” atau pelayan. Tapi meski demikian saya sangat bangga terlahir dikalangan bawah karena dunia kami dipenuhi oleh rasa kasih sayang, saling menghormati,hidup rukun dan damai penuh keluguan meski menghadapi tantangan hidup yang begitu berat. 
Saya lahir di kota Negara, sebuah kota kecil diujung barat pulau Bali atau tepatnya di Kabupaten Jembrana. Kedua orang tua saya yang buta huruf tidak dapat mengatakan dengan pasti tanggal dan tahun berapa saya lahir kedunia ini. Hanya saja berdasarkan ingatan mereka, dikatakan  bahwa ibu mulai nyidam persis ketika tentara NICA yang jangkung-jangkung muncul di kota Negara. Dan dari sumber-sumber sejarah yang ada dipastikan tentara NICA mendarat di kota Negara pada awal Maret 1948. Berdasarkan itu diperkirakan saya lahir bulan 2 Desember 1946 atau di awal tahun 1948. Namun tempat kelahiran saya dapat diketahui dengan pasti dari kesaksian orang-orang yang dapat dipercayai. Menurut mereka, saya lahir dilingkungan orang-orang baik dan terhormat. Tepatnya saya lahir dikomplek perumahan karyawan PU (Pekerjaan Umum) yang pada masa itu disebut BOW (Badan Oeroesan Wanita?) Sekarang dikomplek perumahan itu oleh PEMKAB Jembrana telah dibangun sebuah hotel yaitu Hotel Jimbarwana. Jadi di bawah lantai hotel itulah “ari-ari” saya ditanam. Saya lahir dipagi hari tepat pada hari Senin Pon Wuku Sinta {HariSomaRibek]. Menurut ibu, pada hari Sabtu Manis Wuku Watu Gunung [Hari saraswati] perut ibu telah sakit dan diperkirakan saya akan lahir hari itu.Tapi seorang ibu tetangga berkata dalam bahasa Bali. Katanya:”Da jani lekad mapa. Buin puan dogen di Soma Ribek pang bareng-bareng maoton ajak Gus Tu okan tiyange” Artinya, jangan sekarang lahir. Lagi dua hari saja, agar sama-sama otonan dengan Gus Tu, anak saya.... Entah mengapa katanya saya batal lahir pada hari itu.  Betul juga dua hari kemudan saya lahir dengan selamat ditolong oleh seorang dokter yang berasal dari Bangli. Ada kejadian lucu juga katanya tatkala saya baru nongol di muka bumi ini. Semua orang yang menyaksikan tertawa sebab ketika saya nongol langsung kencing sehingga membasahi celana putihnya pak dokter. Oleh keedua orang tua saya, saya diberi nama I WAYAN YASA. Tapi para tetangga lebih suka memanggil saya dengan nama I WAYAN SOMA,sesuai dengan hari kelahiran saya yaitu pada hari Senin atau dalam bahasa Balinya hari Soma. Begitulah jadinya. Ibu saya dipanggil MEN SOMA dan bapak saya dipanggil PAN SOMA.
Kehadiran saya ke dunia sudah tentu membawa kebahagiaan tersendiri bagi kedua orang tua saya. Kebahagiaan itu dirasakan juga oleh bibi saya. Kakak dari ibu saya itu telah lama kawin dengan seorang Jawa dan tidak punya anak. Menurut ibu bahkan suasana gembira juga meliputi seluruh warga yang tinggal dikomplek BOW itu.Konon saya bertubuh mungil berkulit putih bersih dengan rambut hitam melingkar-lingkar. Itu sebabnya katanya ibu sering kehilangan anaknya, karena dicuri oleh para tetangga untuk dimomong.Ditengah-tengah suasana tentram dan damai itulah saya mulai tumbuh. Namun ketika umur saya menginjak kira-kira satu tahun saya menderita sakit bisul di pantat. Sudah berkali-kali dibawa ke Rumah Sakit namun bisul itu tak sembuh-sembuh, malahan semakin hari semakin besar. Berbagai dukunpun telah didatangkan  namun sama sekali tidak ada hasil. Penderitaan berbulan-bulan itu menyebabkan badan saya katanya menjadi kurus kering. Setiap pagi  saya  “dicor-cor” dengan air kendi sambil bapak memijit bisul itu sampai mengeluarkan darah dan nanah. Sudah tentu setiap pagi pula saya menjerit-jerit kesakitan Bahkan katanya ibu sering turut menangis melihat penderitaan saya. Pada suatu saat tersiar berrita bahwa club sepak bola dari Makasar akan datang bertanding melawan kesebelasan Kota Negara. Pada saatnya, hampir seluruh rumah penduduk di kota Negara kosong karena penghuninya semua pergi ke alun-alun menonton pertandingan sepak bola.Termasuk juga bapak saya yang sangat gemar akan sepak bola.Menurut Ibu, hari itu ia ditinggal sendiri menunggui saya di rumah. Suasana sepi seperti itu sudah tentu membuat takut perasaan ibu.Itulah sebabnya ibu membopong saya keluar dan duduk di sebuah bangku dipinggir jalan sambil menonton orang-orang yang akan menonton sepak bola.Sementara saya tertidur lelap dalam dekapan ibu, antara sadar dan tidak tiba-tiba katanya ibu mendengar suara : “Ngudiang men joh-joh ngalih balian. Delod jalan ada balian, dajan jalan ada balian...” Ibu tersentak dan menoleh sekeliling, namun suasana sepi-sepi saja. Tak seorangpun kelihatan. Ibupun yakin bahwa suara gaib yang barusan didengarnya itu adalah petunjuk Tuhan yang mungkin kasihan melihat penderitaan saya yang begitu lama. Suara gaib berbahasa Bali itu kalau diterjemahkan mempunyai arti sebagai berikut :” Mengapa jauh-jauh mencari dukun, di selatan jalan ada dukun, di utara jalanpun ada dukun...  “ Pengalaman itu kemudian diceritakan oleh ibu kepada bapak setelah bapak datang dari menonton sepak bola. Pada hari itu juga saya dibawa oleh kedua orang tua saya berobat ke rumah Gusti Pekak . Beliau adalah seorang dukun yang rumahnya disebelah selatan jalan. Pengobatannyapun dilakukan dengan sangat sederhana. Hanya dengan menggunakan sebutir bawang merah beralaskan selembar daun sirih  bisul saya disemburnya beberapa kali. Sungguh ajaib! Keesokan harinya bisul itu sudah mengering dan berangur-angsur sembuh. Sampai saat ini bekas bisul itu masih ada.                                                
Untuk melihatnya tentu saja saya harus berani menghilangkan rasa malu untuk buka celana,ha...,ha...,ha... 
 Sudah tentu tidak banyak hal yang dapat saya ceritakan sejak usia balita saya.Namun saya yakin dalam usia 2 tahun memory di otak saya telah mulai merekam. Terbukti samar-samar saya masih ingat bapak membuatkan saya bendera merah putih bertangkai lidi. Dengan teman-teman saya menyanyi:”Belalah teguh, bendera jaya, dengan senjata merah berdarah korbankan jiwa raga.” Karena tak mengerti Bahasa Indonesia, maka dalam pikiran saya kata “belalah teguh” artinya saya kira teguh (kuat) dengan ikan yang pedas. Be lalah dalam bahasa Bali berarti ikan pedas.Ingatan samar-samar lainnya diusia 2 tahunan yang masih terekam hingga kini dalam ingatan saya sebagai berikut; Pernah rasanya saya digendong oleh seorang perempuan berkulit hitam dan berkalung handuk.Ketika ibu mau mengambil saya dari gendongannya, saya berpaling memeluk perempuan itu, menyebabkan semua orang tertawa.Dianggap lucu juga oleh orang-orang karena pernah tidak mengakui bapak sendiri.Hal itu sering jadi bahan guyonan.Mereka suka menggoda saya dengan pertanyaan:” Nyen bapak,Yan?” [Siapa Bapakmu, Yan?] Sayapun menjawab:”Atu Utih!” {Maksudnya, Ratu Putih},dan orang-orangpun tertawa. Ratu Putih adalah panggilan untuk seorang tetangga yang bekerja sebagai sopir di Rumah Sakit.Kulitnya memang putih bersih. Tidak seperti Bapak yang hitam terbakar matahari.Kesan yang paling menggores ingatan saya sampai sekarang adalah tentang “Meong Garong” [Kucing Garong]. Pada suatu ketika saya ditakut-takuti oleh teman-teman yang lebih besar dengan mengatakan:”Ayo,ada Meong Garong!” dan sayapun menjerit ketakutan karena dalam hayalan, saya langsung melihat dua ekor kucing bermuka serem dengan kukunya yang tajam.Padahal itu pastinya tak pernah ada. Bayangan itu terus menghantui saya sehingga terbawa ke alam mimpi. Malamnya saya menjerit-jerit ketakutan.Kuatnya imaginasi tentang Meong Garong itu bahkan masih tergores sampai sekarang. Artinya wujud Meong Garong itu masih tergambar jelas di otak saya sampai kini. Saya juga tak pernah lupa akan kasih sayang yang telah saya terima dari kedua orang tua saya. Saya selalu didukung oleh Bapak di atas bahunya setiap datang dari kerja.Setiap malam akan tidur bapak selalu mendongeng. Saking pintarnya Bapak mendongeng sampai-sampai sering membuat saya menangis apabila dongengnya menyedihkan.Terkadang saya geram mendengar perbuatan I Lutung yang jahat. Tanpa disadari saya telah dibawa hanyut oleh dongeng Bapak, yang mengantarkan saya tidur lelap dibuai mimpi. Sebelum mendongeng biasanya Bapak menawarkan dongeng apa yang saya minta. Pan Jempaluk, I Lutung ajak I Macan, Pan Balang Tamak, Men Cubling, Cerukcuk Kuning,I Lutung ngedig umah Tabuhan, dan lain-lain. Semuanya bagus-bagus tapi saya enggan memilih dongeng I Lutung ngedig umah Tabuhan. Sebab bila sampai dibagian Tabuhan menyengat I Lutung, Bapak mulai mencubit-cubit dan menggelitik pinggang saya. Sayapun menggelinjang gelinjang dan berteriak-teriak kegelian.Disamping bisa mendongeng ternyata Bapak pintar juga menyanyi.Mungkin bakat nyanyi dan musik yang saya miliki, menurun dari Bapak. Pada waktu itu juga saya sudah hafal lagu Bengawan Solo. Tirto nadi, Jembatan Merah, Saputangan yang harum, Selendang sutra dan lain-lain. Tentu saja dengan tidak benar sekali.Saya hafal juga dengan lagu Amat Heiho dan Tumenggung Wironegoro yang sering dinyanyikan Bapak.
Disamping kedua orang tua saya, masih ada seseorang lagi yang tak kalah sayangnya kepada saya dibanding mereka Ia adalah bibik saya. Saya panggil dia Mbok De atau Bude,kakak dari ibu saya.Suaminya orang Jawa [Jogya} dan saya memanggilnya Pak Mas.Mereka tidak punya anak, sebab satu-satunya anak mereka telah meninggal dunia. Itulah sebabnya kasih sayang mereka sepenuhnya dicurahkan kepada saya. Menurut ibu, sejak dalam kandungan, sampai saya lahir, Bude telah ikut merawat saya.Setiap hari sehabis memasak Bude selalu datang memandikan saya, memakaikan baju dan memomong saya.Jam 11.00 baru dia pulang untuk menyiapkan makan siang bagi suaminya.Itupun setelah saya tertidur pulas. Rumahnya yang terletak di bilangan Banjar Tengah kota Negara sangat dekat dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki untuk sampai ke tempat saya.Begitu pula halnya dengan Pak Mas. Pegawai PU yang juga seorang veteran pejuang itu,sangat menyayangi saya. Sejak  saya kecil beliau sudah bercita-cita untuk menyekolahkan saya. Jadi sesungguhnya saya sangat beruntung memiliki dua pasang orang tua.  Bapak yang pada mulanya kerja serabutan, mulai bekerja sebagai tukang pecah batu.Pada jaman penjajahan Jepang,  kehidupan memang keras.Kerja paksa untuk pembuatan jalan-jalan memberi hikmah kepada Bapak. Beliau akhirnya menjadi akhli dalam hal memecah batu.Sebagai contoh, kalau bentuk batu seperti ini, bila dipukul bagian ininya, maka pecahannya seperti ini.Dan itu sering dibuktikan kebenarannya oleh Bapak.Kerja keras di bawah terik matahari seperti itu  menyebabkan kulit Bapak hitam dan tubuhnya berotot.Lengannya sangat kekar sebab setiap hari digunakana untuk mengayun martil seberat 10 kg. 

 Bapak lalu dicarikan pekerjaan di PU oleh Pak Mas.Awalnya Bapak bekerja sebagai kenek truk PU. Setelah atasan tahu bahwa Bapak juga memiliki skill di bidang bangunan, maka pekerjaan Bapak dialihkan. Dari kernet,akhirnya Bapak jadi pemborong kecil-kecilan. Begitulah,apabila ada proyek pembuatan Jembatan, pembuatan got maupun jengkuwung atau gorong-gorong, untuk pasangan batu selalu diserahkan kepada Bapak. Tentu Pak Maslah yang mengatur semuanya.Kalau sekarang mungkin orang menyebutnya KKN                                      Pada tahun 1950, kebahagiaan kedua orang tua saya bertambah dengan lahirnya adik saya. Saya mendapat adik perempuan yang cantik, berkulit putih bersih. Iapun diberi nama NI MADE WINATI.Suasana rumah dirasakan bertambah ramai oleh tawa dan kadang-kadang tangis.Hari berganti minggu, minggu bertemu bulan, tak terasa 2 tahun sudah usia adik saya. Itu berarti umur saya sudah 4 tahun di saat Bapak mulai meninggalkan kami berhari-hari untuk bekerja.Tentu saja tempat kerjanya sangat jauh yang mengharuskan beliau mondok. Karena tidak tahan tinggal berjauhan,apalagi meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, Bapakpun nekat memboyong kami untuk mondok di Pekutatan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1952, tahun terakhir bagi kami menghirup sejuknya udara kota Negara.


(mengenang I Nyoman Kelating, bapak dari I Wayan Somawiyasa Spd)

                                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar